Peringatan Maulid Nabi; Meneladani Akhlak Rasulullah Saw
Peringatan Maulid Nabi; Meneladani Akhlak Rasulullah Saw
Oleh Dr. Mawardi Siregar, MA
Setiap hadirnya bulan Rabiul Awal, umat Islam di seluruh penjuru dunia menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hal itu dapat dimaklumi, sebab tanggal 12 pada bulan tersebut adalah hari kelahiran Rasulullah Saw, Nabi akhir jaman pembawa agama dan risalah yang haq. Umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi dengan istilah peringatan maulid Nabi Muhammad Saw.
Menurut catatan sejarah, peringatan maulid nabi Muhammad Saw pertama kali dilaksanakan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuannya adalah untuk memperkokoh semangat umat Islam, dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa yang ingin merebut tanah suci Yerusalem dari tangan kaum muslim. Konkritnya, peringatan maulid Nabi Saw dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu: pertama, adanya serangan tentara Salib Eropa yang dilancarkan oleh kaum kafir Kristiani yang ingin merebut Kota Yerusalem (Palestina). Kedua, melemahnya semangat jihad kaum muslim dalam melawan kaum kafir Kristiani. Efek peringatan Maulid Nabi yang dilakukan Shalahuddin memang sangat luar biasa. Dengan peringatan tersebut, Shalahuddin mampu membangkitkan kembali semangat jihad kaum muslim dalam membela agama Allah, sehingga mereka berhasil memenangkan peperangan tersebut.
Di Indonesia, umat Islam menyelenggarakan perayaan tersebut diberbagai tempat, mulai dari tempat yang sederhana sampai tempat-tempat mewah. Perayaan maulid Nabi diadakan di surau-surau, masjid-masjid, majlis ta’lim, pondok-pondok pesantren, di kantor-kantor pemerintahan maupun swasta dan di hotel-hotel. Bahkan organisasi remaja masjid dan organisasi kepemudaan lainnya juga tidak ketinggalan untuk memperingati perayaan tersebut dengan beragam acara yang penuh kemeriahan.
Lebih menarik lagi, di kalangan masyarakat tradisional yang tinggal di kampung-kampung masih kita dapati jamaah yang membaca kitab Barzanji, yaitu kitab sastra yang berisi biografi Nabi Muhammad Saw yang berisi puji-pujian kepadanya. Di sejumlah daerah tertentu, pembacaan Barzanji merupakan menu wajib yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan kitab yang sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) itu, disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw. Terlepas dari sikap kontra sebagian kalangan terhadap kegiatan peringatan Maulid Nabi Saw, termasuk tradisi membaca Barzanji, tetapi yang jelas semua kegiatan yang dilakukan kaum muslimin dilatarbelakangi oleh kecintaan yang sangat mendalam terhadap Nabi Muhammad Saw. Mencintai Rasulullah Saw tidak cukup dengan bershalawat dan memujinya. Sejatinya, kaum muslimin harus berupaya meneladani akhlak mulia Rasulullah Saw dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Indahnya Akhlak Rasulullah Saw
Rasulullah Saw hingga kini dikenang oleh miliaran manusia di jagad raya ini. Bukan saja karena ajaran keagamaan yang diembannya, melainkan terutama karena kemuliaan akhlak yang dimilikinya. Keluhuran akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw tidak hanya diakui oleh orang yang sezaman dengannya. Sampai saat ini, banyak yang memuji keluruhan akhlak beliau, termasuk para orientalis yang mengkaji Islam secara jujur. Michael H. Hart misalnya, dalam buku ”100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah” menempatkan Nabi Muhammad Saw pada urutan pertama. Menurut H. Hart, Nabi Muhammad adalah satu-satunya orang dalam sejarah peradaban manusia yang telah berhasil meraih sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.
Allah Swt juga menyebut beliau sebagai pemilik akhlak yang agung (QS al-Qalam [68]: 4) dan teladan yang baik (QS al-Ahzab [33]: 21). Itulah yang menjadikan Nabi Saw sebagai manusia paripurna (al-insan al-kamil). Dalam salah satu hadis, Aisyah menjelaskan bahwa “Rasulullah Saw bukan orang yang suka berkata keji, bukan orang yang buruk perangainya, dan bukan orang yang suka berkeliaran di pasar. Bukan pula orang yang membalas kejelekan (kejahatan) dengan kejelekan, akan tetapi Rasullulla adalah orang yang suka memaafkan dan melupakan kesalahan (orang lain)” (HR. Ahmad).
Husain bin Ali, cucu Rasulullah Saw menceritakan bagaimana keagungan kakeknya itu dalam sebuah riwayat, “Aku bertanya kepada ayah (Ali bin Abi Thalib) tentang bagaimana Rasulullah Saw di tengah-tengah sahabatnya. Ayah berkata, Rasulullah Saw selalu menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur waktu dan tidak tergesa-gesa. Beliau meninggalkan tiga hal yaitu riya, boros, dan sesuatu yang tidak berguna.
Rasulullah Saw juga tidak pernah mencaci seseorang karena kesalahannya, tidak mencari-cari kesalahan orang, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat dan berpahala. Kalau beliau berbicara, maka yang lain diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya, tidak pernah disela atau dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa-apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya. (HR Tirmidzi).
Meneladani Akhlak Rasulullah Saw
Keluhuran akhlak nabi Muhammad Saw yang disebutkan di atas, sudah cukup membuatnya pantas diidolakan sepanjang masa, apalagi bagi umat Islam. Dalam surah Al Ahzab ayat 21 diperintahkan agar orang yang mengharapkan rahmat Allah Swt dan menunggu datangnya hari kiamat untuk meneladani tingkah laku beliau. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Umat Islam, jika ditanya apakah mereka mencintai dan mengidolakan nabi Muhammad Saw, mereka pasti akan menjawab “ya”. Tapi benarkah umat Islam mencintai dan mengidolakan beliau? Bukankah sang pencinta akan berbuat sesuai keinginan yang dicintai! Lantas kenapa akhlak umat Islam saat ini jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah Saw? Jika umat Islam mengidolakan Rasulullah Saw, kenapa perbuatan mereka berseberangan dengan tingkah laku beliau?
Rasulullah memerintah kita untuk bersatu, tapi kita malah bercerai berai. Tidak hanya berbecerai-berai, kita malah “gontok-gontokan” sesama kita sendiri. Satu kelompok menyatakan dirinya lebih Islami daripada kelompok lain. Bahkan ada yang menyatakan mereka yang di luar kelompoknya sebagai “kafir” dan musuh.
Rasulullah adalah seorang yang lemah lembut dan sopan, tapi kita menampilkan wajah yang garang. Rasulullah Saw adalah orang pemaaf, tapi kita malah menjadi umat yang pemarah. Bukankah ini bertentangan secara diametral dengan akhlak Rasulullah Saw?
Gejala yang bertentangan dengan akhlak Rasulullah juga kita dapati para pemimpin umat dan para ulama. Para pemimpin sibuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara daripada memikirkan kepentingan umat. Bersilat lidah dan bermain-main dengan kebohongan bukanlah hal yang baru bagi mereka. Sementara para ulama yang kritis atas perilaku pemimpin umat bisa dihitung dengan jari. Banyak dari ulama malah ikut menceburkan diri dalam euforia politik praktis. Menjadi kutu loncat dari satu partai ke partai lain atau membentuk partai baru bila ambisinya tidak terakomodir. Bukankah semua ini menunjukkan bahwa kecintaan umat Islam kepada Rasulullah Saw baru sebatas bibir belaka.
Untuk itu, marilah kita jadikan peringatan maulid Nabi Saw sebagai momentum untuk memperbaiki akhlak, agar peringatan maulid Nabi Saw tidak sekadar kegiatan seremonial dan rutinitas tahunan. Sejatinya, peringatan yang kita lakukan hendaknya memberikan bekas dan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki akhlak umat dan moral bangsa. Marilah kita berakhlak sebagaimana akhlak Nabi Muhammad Saw. Hanya dengan cara itu rajutan ukhuwah islamiyah yang terkoyak bisa kita dirajut kembali. Wallohu a’lam bisshawwabi.
Penulis adalah Dosen Prodi BKI IAIN Langsa